Terangkatnya adik Patiraja (Patipasaung) menjadi raja menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Pattimang, Malangke. Beberapa petinggi istana yang mendukung Patiraja menolak keputusan adat yang menaikkan anak mattola kedua. Akhirnya Patiraja meninggalkan Pattimang dan hijrah ke Kamanre (eks pusat Kerajaan Luwu masa Dewaraja yang berkuasa sekitar 1530). Di Kamanre, Patiraja mengumumkan dirinya sebagai Datu Luwu dan diterima oleh seluruh Kemadikaan Ponrang (Cilellang, Bajo, Noling hingga Larompong). Dengan demikian, pada saat itu, ada dua pusat kerajaan Luwu (Ware’), yaitu yang pertama Luwu wilayah pengaruh Malangke (Baebunta hingga Poso), yang kedua Luwu wilayah pengaruh Ponrang (berpusat di Kamanre) meliputi Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotongeng. Sedangkan Kemadikaan Bua (meliputi Kolaka, Luwu Tenggara dan pula Palopo/Libukang) netral. Palopo kala itu merupakan perkampungan nelayan yang berpusat di Libukang.
Pada tahun 1616, perang saudara Luwu
versi Pattimang versus Luwu versi Kamanre pecah. Perang ini terjadi
selama kurang lebih 4 tahun, yang kemudian dikenal dengan Perang antara
Utara dan Selatan. Hingga pada 1619, Maddika Bua berinisiatif untuk
mencari solusi atas fenomena ini. Maka pada saat panen raya di Bua,
Patiraja dan Patipasaung diundang oleh Maddika Bua. Mereka dibuatkan
Baruga dengan 2 pintu masuk (utara-selatan). Pintu utara akan dimasuki
oleh Patipasaung, dan pintu selatan oleh Patiraja. Mereka dipertemukan
oleh Maddika Bua di ruang tengah baruga. Mereka kaget, lebih-lebih pada
saat keduanya diserahi badik oleh Maddika Bua. Di ruang tersebut, hadir
pula Madika Ponrang dan Makole Baebunta, yang kemudian oleh Madika Bua,
beliau mempersilahkan Patipasaung dan Patiraja untuk bertarung. Madika
Bua berkata “Wahai kedua junjungan kami, sudah tahunan rakyat saling
membunuh, janda telah banyak, anak yatim sudah tidak terbilang lagi. Ini
adalah akibat Luwu diperintah dua raja. Kami hanya menghendaki
seorang”.
Pada saat itu, Patiraja
insyaf. Ia berkata kepada Patipasaung “Wahai adikku. Engkaulah yang
disukai oleh orang banyak. Aku ini, abangmu telah hanyut dalam gelora
nafsu kekuasaan. Aku khilaf. Sebagian rakyat telah aku ikutkan dalam
diriku. Terimalah badik ini, dan terima pula penduduk Kamanre seluruhnya
ke dalam Luwu yang damai, tenteram dan sejahtera. Biarlah aku abangmu
kembali ke Gowa di mana kita dilahirkan. Siapa tahu, Dewata Allah Taala
menerima diriku di tanah leluhur kita”..
Sejak
pindahnya pusat kedatuan ke Palopo, sejak itu pula Palopo menjadi
barometer perkembangan Luwu. Masyarakatnya bangga menjadi To Ware.
Pada tahun 1900, penduduk kota Palopo berjumlah sekitar 12.000 jiwa
dari keseluruhan penduduk Luwu yang kurang lebih berjumlah 400.000 jiwa
(termasuk Poso dan Kolaka). Palopo terdiri atas Kampung Tappong (kampung
paling ramai dengan 120 rumah), Mangarabombang, PonjalaE (100 rumah),
Campa, Bone, Parumpang, Amassangeng, Surutanga, Pajalesang, Bola Sada,
Batupasi, Binturu (7 rumah), Tompotikka, WaruE, Songka, Penggoli,
Luminda, Kampong Beru, Balandai (7 rumah), Rampuang dan Pulau Libukang.
Pada masa itu, Latanadatu Luwu, Andi Kambo adalah rumah
panggung kayu bertiang 88 buah (LangkanaE).Bangunan itu
dirobohkan oleh Belanda, dan digantikan dengan bangunan berarsitektur
eropa pada tahun 1920 (hampir bersamaan dengan Rumah Sakit).
seiring berkembangnya, kota palopo sekarang di kenal dengan keindahan alamnya.
0 komentar:
Posting Komentar